Polemik Festival Jazz di Indonesia, Antara Komersial dan Pergulatan Identitas

Penulis: Tantri Dwi Rahmawati

Diperbarui: Diterbitkan:

Polemik Festival Jazz di Indonesia, Antara Komersial dan Pergulatan Identitas
Jazz Gunung Bromo 2024 © KapanLagi.com

Kapanlagi.com - Musik jazz yang dulu dianggap elit kini semakin inklusif sejak beberapa dekade terakhir, bertransformasi menjadi ajang untuk menjangkau beragam kalangan. Festival jazz di Indonesia tak lagi hanya menyasar komunitas “formal”, melainkan membuka panggung bagi penikmat lintas usia dan latar belakang.

Misalnya, Java Jazz Festival dan Ngayogjazz bahkan menempatkan diri sebagai peristiwa budaya sekaligus destinasi pariwisata, menjembatani lokalitas dan globalisasi dalam bingkai musik jazz modern.

Fenomena inklusivitas ini bukan hanya mengubah cara masyarakat mengonsumsi jazz, tapi juga mendorong kebangkitan komunitas lokal. Event seperti Ngayogjazz, yang digelar secara gratis di kampung.

1. Festival Jazz Menjamur

Ngayogjazz menjadi media promosi kekayaan budaya, menghadirkan arus ekonomi wisata lokal yang nyata. Festival ini membantu warga desa mengembangkan usaha kecil, memberikan nilai tambah pada daerah yang mungkin sebelumnya luput dari perhatian wisatawan.

Beberapa festival jazz besar telah muncul dan menyebar ke berbagai daerah seperti Java Jazz, Jazz Gunung, Ngayogjazz, Jazz Goes to Campus, Prambanan Jazz, dan lainnya. Acara seperti Java Jazz, yang pertama kali digelar pada Maret 2005, jadi salah satu festival terbesar area selatan khatulistiwa, menampilkan ratusan musisi lokal dan internasional.

Selain Java Jazz, festival jazz di daerah seperti Jazz Gunung dan Ngayogjazz memperkaya ekosistem musik nasional. Ngayogjazz, misalnya, digelar di kampung dan membebaskan biaya tiket, sehingga menjadi momentum komunitas untuk menerima serta berpartisipasi aktif dalam gelaran jazz.

(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)

2. Menuai Kritik

Banyaknya Festival Jazz itu menuai kritik dari sejumlah musisi salah satunya Indra Lesmana. Pada 2022, ia mengkritik dominasi musisi Pop, alih-alih musisi Jazz.

"Membuat Jazz Festival harus disertai tanggung jawab untuk menjaga dan membangun komunitas musisi Jazz dan penggemarnya," tulisnya kala itu.

Pada 2025, ia kembali melontar kritik yang serupa lewat unggahan di Instagram Story. “Semakin sedikit musisi Jazz tampil… Tanpa Jazz, festival Jazz kehilangan jiwanya,” tulisnya.  

Menurut Indra, tren memasukkan musisi pop atau genre non-jazz lain sebagai headliner membuat festival berpotensi menyesatkan penonton, mengikis visibilitas seniman Jazz sejati, dan melemahkan identitas budaya Jazz Indonesia.

3. Menarik Audiens yang Lebih Luas

Di sisi lain, promotor seperti Anas Syahrul Alimi selaku pendiri Prambanan Jazz membela strategi penggabungan genre. Anas mencontoh festival besar dunia (North Sea, Montreux) yang melakukan hal serupa demi merayakan kompleksitas musik dan menarik audiens yang lebih luas.

Menurut Anas, menghadirkan musisi pop bukan pengkhianatan terhadap jazz, tapi kebutuhan teknis seperti operasional dan kompensasi kru. Ia mengakui pertimbangan komersial sebagai bagian untuk menjaga keberlangsungan festival, dengan tetap memberikan ruang bagi genre Jazz asli.

Reaksi terhadap kritik Indra juga datang dari pelaku seni lain seperti Endah Widiastuti (Endah N Rhesa). Endah menawarkan ruang pertunjukan gratis di venue miliknya, Earhouse. Di sana para musisi Jazz yang sulit tampil di festival besar diberikan wadah. Ia berharap inisiatif ini bisa menjadi jembatan bagi seniman jazz mendapatkan panggung tanpa tekanan komersial.

4. Dampak Ekonomi

Festival jazz juga memiliki dampak ekonomi signifikan. Sebagai contoh, Java Jazz 2006 mampu meraup keuntungan hingga Rp 15 miliar, hanya dari pendapatan tiket.

Selain keuntungan langsung, festival jazz mendorong sirkulasi ekonomi di sektor pendukung seperti pariwisata, transportasi, dan konsumsi lokal. Event di daerah, seperti Ngayogjazz atau Jazz Gunung, turut memberdayakan ekonomi pedesaan dengan menyediakan lapangan usaha bagi warga setempat.

Musik jazz juga terus berkembang, dipengaruhi oleh unsur-unsur pop, R&B, fusion, dan elektronik. Banyak seniman muda yang mengisi kekosongan dengan ide kreatif, membuktikan jazz bukan mati, melainkan berevolusi.

(Demo kenaikan gaji anggota DPR memanas setelah seorang Ojol bernama Affan Kurniawan menjadi korban. Sederet artis pun ikut menyuarakan kemarahannya!)

Rekomendasi
Trending