Panggung yang Terkoyak Tembaga, Kronologi Kontroversi Sponsorship Pestapora

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diperbarui: Diterbitkan:

Panggung yang Terkoyak Tembaga, Kronologi Kontroversi Sponsorship Pestapora
Pestapora © KapanLagi.com/Adrian Utama Putra

Kapanlagi.com - Pestapora 2025 seharusnya menjadi pesta musik tahunan yang menggembirakan. Selama tiga tahun terakhir, festival ini membangun reputasi sebagai ruang inklusif bagi musisi lintas genre dan generasi.

Namun tahun ini, euforia yang biasa menyelimuti perhelatan itu tergeser oleh polemik yang muncul sejak hari pertama acara berlangsung. Munculnya sponsor dari perusahaan tambang di Papua membuat banyak orang terhenyak, tidak hanya penonton namun juga puluhan musisi yang dijadwalkan tampil di acara ini.

1. Awal Kontroversi

Pemicunya adalah kehadiran spanduk besar bertuliskan "Tembaga Ikutan Berpestapora" yang terbentang di area festival pada Jumat (5/9). Tulisan tersebut merujuk pada PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang tembaga dan emas yang selama ini identik dengan kontroversi. Spanduk tersebut tak hanya menampilkan slogan, tapi juga secara jelas mencantumkan identitas Freeport sebagai sponsor.

Tayangan visual spanduk itu dengan cepat menyebar di media sosial dan memicu kemarahan publik. Banyak yang menilai kehadiran Freeport bertolak belakang dengan semangat inklusif dan kesadaran sosial yang selama ini dibangun oleh komunitas musik independen. Kritikan tak hanya datang dari pengunjung, tetapi juga dari para musisi yang merasa dikejutkan oleh sponsor tersebut yang menurut beberapa pernyataan, tidak diinformasikan secara terbuka sebelum festival berlangsung.

(Rumah tangga Tasya Farasya sedang berada di ujung tanduk. Beauty vlogger itu resmi mengirimkan gugatan cerai pada suaminya.)

2. Musisi yang Membatalkan Penampilan

Tak butuh waktu lama hingga protes mulai bermunculan. Sejumlah musisi memutuskan membatalkan penampilannya, bahkan ketika mereka sudah dijadwalkan tampil dan sebagian telah menerima fee serta fasilitas dari penyelenggara. Mereka menyampaikan keberatan melalui akun media sosial masing-masing, menyatakan sikap bahwa mereka tak ingin menjadi bagian dari festival yang bekerja sama dengan perusahaan yang mereka nilai problematik.

Hingga Sabtu pagi, tercatat 32 performer menarik diri dari line-up. Di antara mereka adalah Hindia, .Feast, Petra Sihombing, Banda Neira, The Panturas, Sukatani, Navicula, Rekah, Silampukau, Cloudburst, Reruntuh, Tarrkam, Morad, Dongker, White Chorus, Swellow, Ali, Sprayer, Filler, Skandal, Carave, Ouverte, The Cottons, Kenya, Keep It Real, Tribute to Barefood, Centra, Kelelawar Malam, Ornament, Rebellion Rose, Yosugi, serta Bilal Indrajaya yang tampil bersama The Corleones.

Beberapa dari mereka juga diketahui mengembalikan honorarium dan fasilitas yang telah diterima. Mereka menekankan bahwa aksi ini bukan sekadar bentuk keberatan, tetapi sikap moral terhadap eksploitasi lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini diasosiasikan dengan aktivitas pertambangan di Papua.

3. Pestapora Putuskan Kerjasama dengan Freeport

Di tengah gelombang penarikan diri musisi, pihak Pestapora akhirnya menyatakan bahwa mereka telah memutus kerja sama dengan Freeport Indonesia. Melalui unggahan resmi di media sosial pada Sabtu siang (6/9), Direktur Festival Kiki Aulia Ucup menegaskan bahwa "tidak ada dana dari Freeport yang diterima atau digunakan" dalam penyelenggaraan festival. Ia menambahkan bahwa seluruh biaya yang timbul akibat pemutusan kerja sama tersebut akan menjadi tanggung jawab panitia sepenuhnya.

Selain itu, Kiki Ucup juga menyampaikan permintaan maafnya secara langsung di atas panggung Pestapora. "Kata pertama yang saya sampaikan adalah permintaan maaf dari saya mewakili Pestapora untuk apa yang terjadi di hari ini dan kemarin," ujar Kiki Ucup, Sabtu (6/9/2025).

"Kami sangat mengakui kesalahan dan kelalaian kami dalam bekerjasama dengan PT Freeport Indonesia. Tapi langkah cepat langsung kami lakukan karena kami sangat menyadari kesalahan itu, kami langsung memutus kontrak PT Freeport Indonesia dengan Pestapora. Dan sekali lagi saya pastikan, Pestapora tidak menerima sepeser pun aliran dana dari PT Freeport Indonesia. Dan saya sebagai Festival Director sekali lagi memohon maaf untuk teman-teman semua yang sudah bersedia membeli tiket, yang sudah hadir di hari ini dan tidak mendapatkan penampilan yang diinginkan dari beberapa teman-teman yang memutuskan untuk mundur dari Pestapora 2025," ungkapnya.

4. Musisi Hadir Tapi Tidak Manggung dan Sumbangkan Fee

Ada penampil yang memutuskan mundur sepenuhnya dari Pestapora, ada pula yang memilih tetap hadir di tengah penonton namun mereka mengubah panggung sebagai sarana orasi. Salah satunya adalah band Rebellion Rose, mereka tetap tampil dan menyuguhkan empat lagu. Namun, penampilan mereka kali ini berbeda.

Mereka mengubah panggung megah Pestapora menjadi arena orasi untuk menyuarakan kesadaran atas isu lingkungan yang menjadi alasan protes mereka. Band ini juga memastikan bahwa fee dan uang transportasi yang diterima, dikembalikan sepenuhnya kepada pihak penyelenggara.

"Malam benar-benar kita tahu kabarnya, kemudian kita langsung kumpul. Kebetulan sudah sampai Jakarta semua karena memang rencananya mau terbang ke Bali. Jadi H-1 kita sudah menyiapkan suara untuk mundur," ujar Fyan saat ditemui di Kemayoran, Jakarta Utara, Sabtu (6/9/2025).

5. Musisi Sumbangkan Fee Manggung di Pestapora

Ada pula penampil yang memilih tetap manggung dan menyapa para penonton mereka, namun mereka menyumbangkan fee kepada yayasan yang mengurus soal lingkungan. Salah satunya adalah band Barasuara.

"Alasan kenapa Barasuara kenapa tidak mundur, karena kami berpihak pada teman-teman yang sudah membeli tiket, kami tidak mengabdi pada Pestapora, kami tidak mengabdi pada Kiki Ucup, kami mengabdi pada kalian para pembeli tiket. Kalian yang membantu kami sebesar ini karena kalau tidak ada kalian, kami tidak akan ada di panggung ini. Dan juga, kami tidak mengabdi pada PT Freeport Indonesia," tambah Iga.

Sebagai bentuk nyata dari sikap mereka, Barasuara membuat pengumuman mengejutkan. Seluruh honor yang mereka terima dari penampilan di Pestapora 2025 akan disumbangkan sepenuhnya untuk gerakan pelestarian lingkungan.

"Fee yang didapatkan Barasuara di manggung Pestapora akan disumbangkan ke Music Declares Emergency yang bergerak di bidang ekologi dan lingkungan," ujar Iga.

6. Penampil Berorasi dan Menyindir Pemerintah

Beberapa penampil lain yang tetap memilih manggung, menyuarakan kritik mereka terhadap pemerintah lewat lagu. Salah satunya adalah Slank, yang menyindir pemerintahan hingga Puan Maharani dalam lirik mereka.

"Kalo aku Puan Maharani, aku akan cepat bersidang, RUU Perampasan aset disahkan, biar koruptor enggak berkutik," begitu bunyi lirik yang dinyanyikan Kaka dengan lantang.

"Sebuah lagu yang gua tulis setelah peristiwa Trisakti tahun 98. TNI juga udah mulai turun ke jalanan, gua cuma pesan buat beliau Pak Polisi, Pak Tentara, apapun yang terjadi jangan menggunakan peluru tajam. Turut berduka buat Ojol dan para aktivis, Slank menyatakan berduka buat semuanya," ujar Bimbim.

Selain itu, Reza Rahadian juga berorasi bersama Iwan Fals. Ia membawakan puisi yang berisi sindiran tajam kepada pemerintah, kemudian dilanjutkan dengan lagu Wakil Rakyat yang dibawakan oleh Iwan.

7. Musisi Dukung Kiki Ucup

Di balik kritik dan desakan publik yang begitu masif, muncul pula suara-suara yang menyatakan dukungan terhadap Kiki Ucup selaku festival director. Di tengah sorotan, ia dinilai berani mengambil langkah korektif secara terbuka dan bertanggung jawab, meski konsekuensinya berat. Dukungan datang dari sesama musisi dan rekan seindustri, termasuk dari Vincent Rompies, yang melalui akun Instagram-nya menulis:

"Belajar itu gaada endingnya Cup, sama kayak persahabatan. Bangun dan hadapi dengan penuh tanggung jawab karena ini semua proses dan pembelajaran bagi semua pihak. Laffyu olweys!" tulis Vincent.

Unggahan tersebut ramai dibagikan ulang oleh musisi dan pengunjung festival yang merasa bahwa kritik memang perlu, tetapi dukungan juga penting untuk memperbaiki ekosistem yang rusak.

Festival tetap berlangsung hingga Minggu (7/9), namun suasananya tidak lagi sama. Panggung yang biasanya dipenuhi sorak sorai justru berubah menjadi ruang kritik terbuka dan ajakan reflektif.

Pestapora 2025 mungkin tak akan dikenang sebagai festival yang paling meriah, tetapi ia akan tercatat sebagai festival yang membuka ruang pertanyaan: tentang siapa yang berhak hadir dalam panggung budaya, tentang sejauh mana seni bisa dibebaskan dari kapital, dan tentang bagaimana komunitas musik Indonesia bisa belajar menjaga integritasnya bersama-sama.

Baca berita Pestapora lainnya di Liputan6.com.

(kpl/phi)

Rekomendasi
Trending